Selasa, 09 Januari 2018

Review Kumcer: Museum Ibu



Judul            : Museum Ibu

Penulis        : Gusti Trisno

Penerbit      : AE Publishing

Editor          : Gusti Trisno

Layout         : Gusti Trisno

Kover           : Javan Design

Cetakan       : Pertama, Februari 2017

Tebal            : 86 hlm

ISBN             : 978-602-6325-37-2

Blurb:
Sementara itu, tak ada satu pun pertapa yang memberinya hal-hal aneh semisal segenggam biji mentimun, jarum dari bambu yang dipotong kecil-kecil, garam, dan terasi. Sebagai pencinta dongeng, kisahnya tak sempurna. Seharusnya sosok raksasa yang mengejarnya akan kalah jika bertemu barang-barang aneh itu.
(Titisan Timun Mas)

Ardi bukan tak peduli dengan para penghujat atau Pak Udin itu, tugasnya sebagai mahasiswa hanyalah belajar, ikut organisasi, setelah wisuda langsung mencari kerja, menikah, berumah tangga sudah, tidak sedikit pun niat berdemo. Soal tindak-tanduk para penghuni kampus, tak pernah ingin ia ikuti.
(Kampus Para Penghujat)

_*_

"Museum Ibu" adalah kumpulan cerita pendek pertama Gusti Trisno, sebelumnya mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitas Jember ini menerbitkan kumpulan puisi berjudul "Ajari Aku, Bu". Selain itu, karya penggiat Komunitas Penulis Muda Situbondo itu telah dimuat di beberapa media masa dan antologi bersama.

_*_

Nukilan:
Saya disambut atmosfer beraroma haru di awal-awal langkah menjajaki buku ini. Dari judul sebenarnya memang sudah tercium.

Meski bukan diperuntukkan untuk Ibu, melainkan guru di dunia maya, puisi berikut cukup menyentuh. Ada rasa terima kasih dan sebongkah mimpi yang patut diperjuangkan.

“Bu, pertemuanmu beberapa tahun lalu
Membuatku terjerumus ke dalam dunia yang penuh keasyikan; menulis
Kau ajariku mengenakan titik koma
Pun merangkai aksara renta
Bu, kau guru mayaku
Kini kubutuh mantra semangatmu sebagai penawar rindu melalui tulisanmu di layar inbox-ku”
(Puisi dalam cerpen "Teruntuk Guru Maya di Layar Laptopku”_hal 10)

Tentang bagaimana seorang anak sudah sewajarnya meluangkan waktu untuk membantu/membahagiakan orangtua, pun diungkit di sini. Sebab bagi mereka, bisa bersama saja sudah sangat membahagiakan.

“Tak ada kata yang terucap namun seulas senyum Ibu yang kuterima mampu meneduhkan jiwa.”
(Kutipan cerpen "Pathek Siang Itu"_hal 14)

Saya merasa penulis banyak meraup ilham dari lingkungan sehari-hari, bahkan bisa jadi sebagian benar-benar ungkapan isi hati. Dan yang saya acungi jempol, selalu ada petikan yang bisa dijadikan renungan.

“Bukankah Ibu bisa jadi siapa pun, tapi tak bisa digantikan siapa pun?”_(Kutipan cerpen Museum Ibu_hal 41)

Penulis juga menyuarakan konflik di tengah masyarakat yang sebenarnya agak lucu bila dipikir lama-lama. Misal perselisihan hanya karena permasalahan pembagian zakat. Geli, kan? Tapi benar-benar ada, loh! Dan dampaknya aneh-aneh.

“Musala yang baru dibangun sebagai pusat pembelajaran berganti dengan pusat kongko-kongko anak muda di kala magrib. Adakah di antara pembaca yang budiman berkenan menjadi ustaz atau mencari ustaz untuk musala tersebut?”_(Kutipan cerpen Mencari Ustaz_hal 44)

Bagian-bagian akhir buku ini menyuguhkan diksi yang sedikit berbeda dari cerpen-cerpen sebelumnya, lebih berwarna dan agak puitis. Mungkin sengaja disiapkan sebagai hidangan penutup.

“Di tengah kepemimpinannya, ia terus menulis kidung cinta. Kidung yang belum sempat ia nyanyikan kepada suaminya. Kidung yang merefleksikan kecintaannya kepada sang teladan Nabi Muhammad dan Raja Makmur.”_(Kutipan cerpen Kidung Cinta Ratu Aminah_hal 50)

Hal itu semakin dipertegas ketika tiba di cerpen terakhir. Di sana saya menemukan opening yang aduhai. Tak heran jika cerpen ini pernah tayang di media cetak.

“Hujan tak menunggu bulan Juni untuk deras, mistis, dan romantis. Tapi bisa saja hujan datang dengan siklus yang tak terduga.”_(Kutipan cerpen Tak Ada Dosen Hari Ini_hal 74)

Apa yang telah saya paparkan hanya garis besarnya. Segera miliki buku ini untuk menikmati isinya secara keseluruhan.

_*_

Review:
Pada kata pangantar penulis menjabarkan bahwa beberapa cerpen dalam buku ini ditulis ketika ia baru di awal-awal menjajaki dunia literasi, sengaja dikumpulkan dan tetap mempertahankan orisinalitas. Menurut saya, penulis sedang mengemas proses dan berusaha menyuarakannya.

Cerpen-cerpen ini lahir dari ide sederhana yang kemudian dipresentasikan dengan sangat menarik. Kesederhanaan dibuat berbobot dengan kedalaman pesan yang terkandung di tiap-tiap cerita. Beberapa cerpen jadi sangat kritis dan menohok.

Saya merasakan gaya bercerita penulis cukup santai dan sesekali diselingi lelucon segar. Penulis juga cukup berani menjadikan dongeng sebagai pondasi cerita kemudian didaur ulang. Keren.

Yang disayangkan, masih cukup banyak typo dalam buku ini. Saya juga merasa beberapa cerita strukturnya mirip dengan cerita sebelum atau setelahnya. Kesannya satu ide ditulis ulang dengan hanya mengganti sudut pandang.

Overall, buku ini cocok untuk kamu yang menginginkan cerita tentang Ibu dalam cakupan makna yang luas. Ada balutan haru, perjuangan, dan impian di sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar